Berita
Calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menyebut sebanyak 1 persen penduduk Indonesia menguasai 75 persen lahan.
"Data yang pernah saya dengar dari Pak Prabowo, 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan. (Sebanyak) 99 persen berebut mengelola 25 persen lahan sisanya. Memang timpang. Perlu upaya-upaya pemerataan. Harus dilakukan caranya, tentu kita lihat fakta yang ada di lapangan. Banyak lahan diperoleh secara kolusi tidak jelas," kata Mahfud MD saat mengikuti Debat Kedua Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (22/12/2023).
"Data yang pernah saya dengar dari Pak Prabowo, 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan. (Sebanyak) 99 persen berebut mengelola 25 persen lahan sisanya. Memang timpang. Perlu upaya-upaya pemerataan. Harus dilakukan caranya, tentu kita lihat fakta yang ada di lapangan. Banyak lahan diperoleh secara kolusi tidak jelas," kata Mahfud MD saat mengikuti Debat Kedua Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (22/12/2023).
HASIL CEK FAKTA
Ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia benar terjadi, meski belum ada angka pasti.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia mencapai 26,13 juta lebih. Dari jumlah ini, 55,95 persen adalah petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) dan 31,68 persen adalah petani kecil (menguasai 0,5-1,99 ha). Sisanya sebesar 12,37 persen merupakan petani mampu yang terdiri atas 6,21 persen petani menengah (menguasai 2-2,99 ha) dan 6,16 persen petani kaya (menguasai > 3 ha).
Dari data sensus ini juga diketahui total lahan pertanian rakyat mencapai hampir 22,428 juta ha. Sebagian besar lahan ini (38,49 persen) dikuasai 6,16 persen petani kaya yang rata-rata menguasai 5,37 ha.
Sedangkan, 33,77 persen lahan rakyat dikuasai petani kecil dengan rata-rata penguasaan lahan 0,91 ha. Lalu, 15,8 persen dikuasai petani menengah yang rata-rata menguasai 2,18 ha. Petani gurem yang merupakan mayoritas petani hanya menguasai 11,94 persen lahan rakyat dengan rata-rata penguasaan 0,18 ha.
Pada 2022, ketimpangan data kepenguasaan tanah juga menjadi sorotan Komisi II DPR RI. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menyebut ketimpangan dan ketidakadilan dalam hal penguasaan tanah merupakan akar konflik agraria dan menjadi persoalan yang sangat akut. Menurut Saan, 68 persen tanah yang berada di wilayah Indonesia dikuasai oleh 1 persen sekelompok pengusaha dan korporasi besar. Sedangkan 16 juta keluarga petani menggantungkan hidupnya dari tanah seluas kurang dari setengah hektare.
Sedangkan di sektor kehutanan, alokasi kawasan hutan pada korporasi mencapai 95,76 persen dari kawasan hutan. Sedangkan rakyat hanya sekitar 4,14 persen dan untuk kepentingan umum hanya sejumlah 0,1 persen.
Analisis
Advisory Lead dari Think Policy Indonesia Alexander Michael Tjahjadi membenarkan data-data yang ada masih mengindikasikan tingginya tingkat ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia.
"Hanya saja, kata-kata Mahfud terkait peningkatan rasio lahan yang sempat membuat 99 persen masyarakat berebut 25 persen sisa lahan belum terbukti secara statistik, meski angkanya sempat sangat tinggi pada 2003. Penurunan ketimpangan distribusi lahan juga tidak dapat diverifikasi karena data tidak mencukupi, dan data yang ada menggunakan penghitungan yang berbeda," kata Alexander Michael.
Sementara itu, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan berdasarkan konsep Gini rasio, penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang. Gini rasio merupakan salah satu cara mengukur ketimpangan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dari Laporan Akhir Penelitian Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah (2019) yang dirilis Kementerian Agraria dan Tata Ruang, rasio gini kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72. Nilai tersebut berada dalam kategori ketimpangan sedang dan tinggi.
Pada 2013, ketimpangan kepemilikan tanah mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya tanah. Sementara pada 2020, indeks gini rasio kepemilikan tanah berada di 0,54-0,67.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia mencapai 26,13 juta lebih. Dari jumlah ini, 55,95 persen adalah petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) dan 31,68 persen adalah petani kecil (menguasai 0,5-1,99 ha). Sisanya sebesar 12,37 persen merupakan petani mampu yang terdiri atas 6,21 persen petani menengah (menguasai 2-2,99 ha) dan 6,16 persen petani kaya (menguasai > 3 ha).
Dari data sensus ini juga diketahui total lahan pertanian rakyat mencapai hampir 22,428 juta ha. Sebagian besar lahan ini (38,49 persen) dikuasai 6,16 persen petani kaya yang rata-rata menguasai 5,37 ha.
Sedangkan, 33,77 persen lahan rakyat dikuasai petani kecil dengan rata-rata penguasaan lahan 0,91 ha. Lalu, 15,8 persen dikuasai petani menengah yang rata-rata menguasai 2,18 ha. Petani gurem yang merupakan mayoritas petani hanya menguasai 11,94 persen lahan rakyat dengan rata-rata penguasaan 0,18 ha.
Pada 2022, ketimpangan data kepenguasaan tanah juga menjadi sorotan Komisi II DPR RI. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa menyebut ketimpangan dan ketidakadilan dalam hal penguasaan tanah merupakan akar konflik agraria dan menjadi persoalan yang sangat akut. Menurut Saan, 68 persen tanah yang berada di wilayah Indonesia dikuasai oleh 1 persen sekelompok pengusaha dan korporasi besar. Sedangkan 16 juta keluarga petani menggantungkan hidupnya dari tanah seluas kurang dari setengah hektare.
Sedangkan di sektor kehutanan, alokasi kawasan hutan pada korporasi mencapai 95,76 persen dari kawasan hutan. Sedangkan rakyat hanya sekitar 4,14 persen dan untuk kepentingan umum hanya sejumlah 0,1 persen.
Analisis
Advisory Lead dari Think Policy Indonesia Alexander Michael Tjahjadi membenarkan data-data yang ada masih mengindikasikan tingginya tingkat ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia.
"Hanya saja, kata-kata Mahfud terkait peningkatan rasio lahan yang sempat membuat 99 persen masyarakat berebut 25 persen sisa lahan belum terbukti secara statistik, meski angkanya sempat sangat tinggi pada 2003. Penurunan ketimpangan distribusi lahan juga tidak dapat diverifikasi karena data tidak mencukupi, dan data yang ada menggunakan penghitungan yang berbeda," kata Alexander Michael.
Sementara itu, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan berdasarkan konsep Gini rasio, penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang. Gini rasio merupakan salah satu cara mengukur ketimpangan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dari Laporan Akhir Penelitian Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah (2019) yang dirilis Kementerian Agraria dan Tata Ruang, rasio gini kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72. Nilai tersebut berada dalam kategori ketimpangan sedang dan tinggi.
Pada 2013, ketimpangan kepemilikan tanah mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya tanah. Sementara pada 2020, indeks gini rasio kepemilikan tanah berada di 0,54-0,67.
KESIMPULAN
Publish date : 2023-12-22