Berita
KBR, Jakarta - Calon Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo berpendapat pemberantasan korupsi membutuhkan sejumlah langkah agar efektif. Di antaranya perlu ada pemiskinan koruptor, UU Perampasan Aset dan memenjara koruptor ke Nusakambangan.
"Yang pertama, dari sisi pendekatan hukum, maka kalau mulai dari sini adalah pemiskinan. dan kedua perampasan aset, maka segera kita bereskan UU Perampasan Aset. Dan untuk pejabat dibawa ke Nusakambangan, agar memberi efek jera," kata Ganjar saat debat Presiden di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (12/12/23).
"Yang pertama, dari sisi pendekatan hukum, maka kalau mulai dari sini adalah pemiskinan. dan kedua perampasan aset, maka segera kita bereskan UU Perampasan Aset. Dan untuk pejabat dibawa ke Nusakambangan, agar memberi efek jera," kata Ganjar saat debat Presiden di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (12/12/23).
HASIL CEK FAKTA
Dikutip dari situs Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Choky R Ramadhan, Ketua Harian/Executive Director Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI) menyebut pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tidak berhasil jika menggunakan indikator pengembalian kerugian negara dan efek jera.
Sementara itu, ahli hukum Todung Mulya Lubis berpendapat kerugian finansial dari kasus korupsi bukanlah sesuatu yang dapat (atau penting) dihitung. Akan tetapi, perhitungan biaya korupsi sangat mungkin dan telah banyak dilakukan. Uni Eropa menghitung biaya korupsi untuk berbisnis mencapai 120 miliar euro. Di Indonesia, studi Fakultas Ekonomi UGM telah menghitung kerugian negara yang diakibatkan korupsi sejak 2001 hingga 2015 sebesar Rp203,9 triliun.
Berdasarkan catatan ICW, RUU Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010.
Pada periode Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, RUU Perampasan Aset termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU.
Pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, namun usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI. Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023.
Analisis:
Menurut Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar penegakan hukum korupsi tidak hanya sekadar menghukum pelaku ke penjara saja, tetapi perlu ada alternatif pemidanaan lainnya.
"Gary Becker (1968) kemudian mengusulkan untuk mengutamakan hukuman denda karena dapat pula menanggung biaya sosial seperti biaya penegakan hukum, biaya penghukuman (penjara), dan biaya yang dialami korban. Menurut Choky Ramadhan (2017) Pembaruan UU Tipikor dengan menaikkan ancaman denda dimaksudkan agar pelaku jera dan menopang kebutuhan penegakan hukum korupsi menjadi suatu hal yang penting," kata Dio Ashar kepada Tim Cek Fakta, Selasa (12/12/2023).
Selain itu menurut Dio, permasalahan penegakan hukum korupsi juga disebabkan beberapa kelemahan rumusan pasal UU Tipikor. Misalnya korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang merugikan keuangan negara diancam hukuman lebih rendah dibandingkan dilakukan oleh orang biasa.
"Penyesuaian UU Tipikor juga dibutuhkan agar sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC). Selepas pengesahan pada 2006, terdapat kesenjangan antara UU Tipikor dan UNCAC. Penyempurnaan UU Tipikor dibutuhkan terutama agar dapat menghukum pembelian pengaruh (trading influence), penambahan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment), dan korupsi antarsektor swasta. Dengan demikian, penegakan hukum atas korupsi dapat dilakukan semakin menyeluruh," tambahnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Asmin Fransiska menilai efek jera membutuhkan syarat lain seperti kepastian hukum (hukum yang tidak ambigu baik dalam teks maupun konteks). Penghukuman terutama dalam waktu panjang menurutnya justru tidak memiliki relevansi dengan efek jera.
"Temuan dari National institute of Justice menyatakan bahwa penjara yang lama akan membuat individu memiliki kemampuan dalam strategi kriminalitas dari rekannya di dalam penjara. Pendekatan hukum pidana dan sistem peradiulan pidana kini berubah ke aras rehabilitasi, bukan retribusi (pembalasan) apalagi deterrence (kejeraan)," kata Asmin, kepada Tim Cek Fakta, Selasa (12/12/2023).
Sementara itu, ahli hukum Todung Mulya Lubis berpendapat kerugian finansial dari kasus korupsi bukanlah sesuatu yang dapat (atau penting) dihitung. Akan tetapi, perhitungan biaya korupsi sangat mungkin dan telah banyak dilakukan. Uni Eropa menghitung biaya korupsi untuk berbisnis mencapai 120 miliar euro. Di Indonesia, studi Fakultas Ekonomi UGM telah menghitung kerugian negara yang diakibatkan korupsi sejak 2001 hingga 2015 sebesar Rp203,9 triliun.
Berdasarkan catatan ICW, RUU Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010.
Pada periode Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, RUU Perampasan Aset termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU.
Pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, namun usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI. Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023.
Analisis:
Menurut Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar penegakan hukum korupsi tidak hanya sekadar menghukum pelaku ke penjara saja, tetapi perlu ada alternatif pemidanaan lainnya.
"Gary Becker (1968) kemudian mengusulkan untuk mengutamakan hukuman denda karena dapat pula menanggung biaya sosial seperti biaya penegakan hukum, biaya penghukuman (penjara), dan biaya yang dialami korban. Menurut Choky Ramadhan (2017) Pembaruan UU Tipikor dengan menaikkan ancaman denda dimaksudkan agar pelaku jera dan menopang kebutuhan penegakan hukum korupsi menjadi suatu hal yang penting," kata Dio Ashar kepada Tim Cek Fakta, Selasa (12/12/2023).
Selain itu menurut Dio, permasalahan penegakan hukum korupsi juga disebabkan beberapa kelemahan rumusan pasal UU Tipikor. Misalnya korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang merugikan keuangan negara diancam hukuman lebih rendah dibandingkan dilakukan oleh orang biasa.
"Penyesuaian UU Tipikor juga dibutuhkan agar sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC). Selepas pengesahan pada 2006, terdapat kesenjangan antara UU Tipikor dan UNCAC. Penyempurnaan UU Tipikor dibutuhkan terutama agar dapat menghukum pembelian pengaruh (trading influence), penambahan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment), dan korupsi antarsektor swasta. Dengan demikian, penegakan hukum atas korupsi dapat dilakukan semakin menyeluruh," tambahnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Asmin Fransiska menilai efek jera membutuhkan syarat lain seperti kepastian hukum (hukum yang tidak ambigu baik dalam teks maupun konteks). Penghukuman terutama dalam waktu panjang menurutnya justru tidak memiliki relevansi dengan efek jera.
"Temuan dari National institute of Justice menyatakan bahwa penjara yang lama akan membuat individu memiliki kemampuan dalam strategi kriminalitas dari rekannya di dalam penjara. Pendekatan hukum pidana dan sistem peradiulan pidana kini berubah ke aras rehabilitasi, bukan retribusi (pembalasan) apalagi deterrence (kejeraan)," kata Asmin, kepada Tim Cek Fakta, Selasa (12/12/2023).
KESIMPULAN
Publish date : 2023-12-12