Berita
Sebuah akun media sosial Instagram [ arsip ] mengunggah video seseorang memotong buah tanpa biji, yakni apel, semangka, dan alpukat. Narator di dalam video menyampaikan agar masyarakat tidak mengkonsumsi buah yang tidak memiliki biji karena hasil rekayasa genetika. Dengan demikian, dapat mengganggu genetika manusia tersebut.
Berikut narasi lengkapnya: “Sekarang pertanyaannya gini. Semangka, kalau Anda mau menanam semangka, apa yang Anda tanam? Nah kalau tidak ada biji, nanamnya gimana? Bibitnya itu dibikin di lab dengan rekayasa genetika. Rekayasa genetika, mau tidak mau, suka tidak suka, pasti berpengaruh pada gen yang makan.
Tempo menerima permintaan pembaca untuk memeriksa kebenaran narasi tersebut. Betulkah buah tanpa biji hasil rekayasa genetika dan berpengaruh terhadap gen yang mengkonsumsinya?
HASIL CEK FAKTA
Tim Cek Fakta Tempo menghubungi peneliti genomic-transcriptomic –dua bidang ilmu yang mempelajari faktor-faktor tertentu dalam sel, jaringan, atau organisme, Tengku Imam Saputra.
Menurut Tengku, rekayasa genetik merupakan upaya untuk mengubah susunan genetik (basa nukleotida) dengan menggunakan teknologi tertentu. Misalnya memasukkan gen (sequence nukleotida) dari organisme tertentu ke organisme lain menggunakan perantara virus agrobacterium atau teknologi terbaru dengan teknik crispr.
“Mekanisme pembuatan buah tanpa biji tidak dengan memasukkan gen tertentu ke dalam buah yang kita konsumsi, tetapi memanfaatkan teknik persilangan konvensional dan teknik agronomis tertentu,” kata Tengku kepada Tempo, Selasa, 5 November 2024.
Dia mencontohkan bagaimana buah pisang tanpa biji hasil mutasi alami telah mengilhami persilangan pada buah-buah lain. Menurut dia, pisang liar aslinya memiliki biji dengan kopi sepasang kromosom (2n) Musa acuminata (AA). Karena mutasi alami, pisang modern (Musa paradisiaca) akhirnya memiliki set 3 kromosom (3n) atau triploid 3n (AAA, AAB).
“Persilangan tanaman pisang diploid x triploid ataupun triploid x triploid menyebabkan pisang modern tidak memiliki biji. Ini menginspirasi perusahaan benih komersial memproduksi semangka tanpa biji,” katanya.
Tetapi untuk anggur tanpa biji, mekanismenya berbeda yaitu menggunakan teknik penyemprotan hormon tertentu yang mampu memalsukan penyerbukan. Sehingga bunga betina menduga telah terjadi pembuahan, padahal tidak. Sehingga bunga terpicu berkembang menjadi buah tetapi biji tidak terbentuk. “Kandungan gizi jelas sama dan tidak berbeda,” kata Tengku menegaskan.
Varietas tanaman komersial yang dijual dari perusahaan benih selalu melewati tahap uji perilisan varietas yang ketat. Sedangkan untuk semangka tanpa biji, ada peran manusia untuk menginduksi perubahan set kromosomnya dari naturalnya 2n atau diploid menjadi 3n triploid dengan senyawa mutagen kolkisin yang sangat terukur dan konsentrasi kecil.
Selain itu, benih yang masuk ke pasar berasal dari tanaman generasi ketiga. Maksudnya, tanaman tetua yang telah diberi senyawa mutagen berubah dari 2n ke 3n. Lalu tanaman tetua berkromosom 3n disilangkan dengan tetua alami berkromosom 2n. Benih atau anakan dari persilangan tersebut dijual sebagai benih semangka tanpa biji.
Tengku mengatakan, buah tanpa biji yang dihasilkan dari proses persilangan tersebut aman untuk dikonsumsi. Akan tetapi hal itu tergantung dari upaya pemerintah dan kontrol kualitas dari produsen benih dengan tetap menguji secara rutin terhadap residu bahan kimia tertentu khususnya pestisida,” kata Tengku.
Pada 2022, narasi serupa pernah beredar. Saat itu, Tempo mewawancarai Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, M.Sc., Guru Besar Departemen Biologi, FMIPA IPB. Anton memastikan bahwa buah tanpa biji hasil modifikasi genetik, seperti pada semangka tanpa biji, tidak berbahaya. Sebab buah tanpa biji, biasa dihasilkan dari variasi genetik yang terjadi secara alami. Salah satu contohnya adalah buah semangka tanpa biji tersebut.
“Buah tanpa biji tidak berbahaya. Karena buah tanpa biji juga biasa dihasilkan dari alam. Meskipun saat ini buah tanpa biji yang mudah ditemukan di pasaran itu umumnya merupakan hasil modifikasi genetik oleh manusia,” kata Anton saat dihubungi Tempo, Kamis, 16 Juni 2022.
Pada dasarnya, menurut Anton, para ilmuwan mengembangkan buah tanpa biji berdasarkan adanya temuan buah tanpa biji yang tumbuh secara alami tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan Tempo, klaim buah tanpa biji hasil rekayasa genetic berpengaruh terhadap gen yang memakannya adalahkeliru.
Buah tanpa biji yang dihasilkan dari proses persilangan tersebut aman untuk dikonsumsi.
Rujukan
https://www.instagram.com/reel/DBx-cNqyZZs/?igsh=eGQ1ODg1c2ZmaGhj
Publish date : 2024-11-05