Berita
Sebuah akun Threads [ arsip ] menuliskan klaim bahwa Ukraina dijadikan alat ekspansi oleh Aliansi Negara-negara dari Eropa dan Amerika Utara (NATO). Sedangkan Iran, dijadikan alat pembalasan Rusia.
Klaim itu beredar di tengah invasi Rusia ke Ukraina yang masih berlangsung hingga saat ini. Bersamaan dengan itu, sebelumnya hubungan Moskow dan Teheran semakin dekat dalam dua tahun terakhir. Iran memasok ribuan drone dan rudal medan perang untuk membantu Moskow dalam perang melawan Ukraina pada 2022.
Sedangkan Rusia berjanji untuk menyediakan jet tempur canggih dan teknologi pertahanan udara kepada sekutunya, aset yang dapat membantu Teheran memperkuat pertahanannya terhadap serangan udara Israel atau AS di masa depan, menurut CNBC pada 17 April 2024.
Benarkah Ukraina dijadikan alat ekspansi NATO dan Iran dijadikan alat pembalasan Rusia? Berikut pemeriksaan faktanya.
HASIL CEK FAKTA
Klaim 1: Ukraina Dijadikan Alat Ekspansi NATO
Fakta: NATO hanya mendukung amunisi dan melatih tentara Ukraina, tanpa bertempur langsung melawan Rusia.
Ketua Pusat Studi Eropa dan Eurasia, Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, mengatakan, setelah invasi skala penuh Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2024, NATO mendukung Ukraina. Akan tetapi itu dukungan separuh hati, kata Radityo, karena NATO hanya mendukung amunisi dan melatih tentara Ukraina, tanpa bertempur langsung melawan Rusia.
“Bantuan itu pun dengan banyak syarat dan ketentuan seperti larangan menyerang balik wilayah Rusia,” kata Radit.
Ia juga mengatakan, sulit untuk menyelesaikan konflik antara Ukraina dan Rusia saat ini, termasuk dengan melibatkan PBB karena Rusia merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
“Perang tersebut akan berhenti jika Rusia berhenti menyerang [Ukraina] dan kembali ke wilayah mereka. Jelas bahwa tidak ada niatan ke arah situ dari Rusia. Dari sisi Ukraina, juga tidak mungkin berhenti melawan karena mereka akan kehilangan sebagai bangsa dan negara.” lanjutnya.
Laman war.ukraine.ua, menuliskan bahwa invasi Rusia ke Ukraina tersebut dimulai saat Krimea dan sebagian wilayah Donetsk dan Luhansk di Ukraina, diduduki oleh pasukan Rusia pada 20 Februari 2014. Kemudian dilanjutkan dengan upaya ilegal Rusia untuk mencaplok empat wilayah Ukraina – Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia – pada bulan September 2022.
NATO dalam posisi mendukung Ukraina dan mengutuk upaya ilegal Rusia itu yang dianggap sebagai upaya aneksasi wilayah Eropa terbesar dengan kekerasan sejak Perang Dunia Kedua. Referendum palsu di wilayah-wilayah ini direkayasa di Moskow dan dipaksakan kepada Ukraina. Referendum tersebut tidak memiliki legitimasi, dan NATO tidak mengakuinya.
Sejak 2014, NATO membantu mereformasi angkatan bersenjata dan lembaga pertahanan Ukraina, termasuk dengan dukungan peralatan, keuangan, dan pelatihan bagi puluhan ribu tentara Ukraina. Sejak 2016, dukungan NATO telah diselenggarakan melalui Paket Bantuan Komprehensif (CAP), yang mencakup berbagai program pengembangan kapasitas dan dana perwalian, yang difokuskan pada bidang-bidang utama seperti pertahanan siber, logistik, dan penanggulangan perang hibrida. Sejak invasi skala penuh Rusia pada bulan Februari 2022, NATO dan Sekutu telah memberikan tingkat dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada Ukraina
Dikutip dari analisis Foreign Policy Research Institute berjudul “Why NATOizing Military Assistance to Ukraine Won’t Solve the Alliance’s Ukraine Dilemma”, selain bantuan-bantuan yang disebutkan sebelumnya, hingga saat ini, NATO sendiri tidak terlibat dalam urusan sehari-hari penyediaan bantuan militer mematikan ke Ukraina, yang telah dikoordinasikan baik secara bilateral maupun multilateral melalui upaya Ramstein yang dipimpin AS atau G7.
Hal ini terjadi karena alasan praktis—NATO sendiri 'memiliki' sangat sedikit peralatan militer, dan alasan politis—NATO adalah aliansi pertahanan. Ukraina sendiri juga belum menjadi anggota NATO hingga saat ini.
Dengan demikian NATO sebenarnya tidak menjadikan Ukraina sebagai alat ekspansi.
Klaim 2: Iran Diperalat Rusia
Fakta: Hubungan Rusia dengan Iran-Cina merupakan keputusan pragmatis karena merasa sama-sama disudutkan oleh AS dan sekutunya.
Menurut Ketua Pusat Studi Eropa dan Eurasia, Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, Cina hanya secara pragmatis melihat bahwa Rusia bisa menguntungkan mereka lewat perjanjian perdagangan minyak, gas dan penjualan senjata. Rusia juga tidak punya opsi lain setelah diembargo sejumlah negara imbas invasi ke Ukraina.
Iran juga melihat Rusia sebagai kesempatan mereka menjual senjata. Bahkan Presiden Iran yang baru menyatakan tidak lagi menjual ke Rusia dan mendukung Ukraina. “Saat ini kedua negara tersebut hanya melihat Rusia sebagai mitra pragmatis untuk berjualan dan memanfaatkan Rusia yang tidak punya opsi teman lainnya” katanya menegaskan.
Sebelumnya, menurut Reuters, Gedung Putih menuduh bahwa Rusia tengah memperdalam kerja sama pertahanannya dengan Iran dan telah menerima ratusan pesawat pesawat nirawak, atau Kendaraan Udara Nirawak (UAV), dibuat di Iran, dikirim melintasi Laut Kaspia, dan kemudian digunakan oleh pasukan Rusia untuk melawan Ukraina. Namun Iran, dikutip dari Aljazeera, mengatakan memang menjual pesawat nirawak ke Rusia, tetapi ini terjadi “beberapa bulan” sebelum dimulainya perang. Iran juga dengan tegas membantah telah mengirim rudal tersebut beberapa kali sejak klaim tersebut pertama kali dilontarkan oleh pejabat Barat pada akhir tahun 2022.
Namun dalam pernyataan terbaru, seperti diberitakan Al Jazeera, Presiden Iran Masoud Pezeshkian mengatakan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) bahwa ia ingin membuka babak "konstruktif" dalam hubungan internasional negaranya dan Teheran "siap untuk terlibat" dengan Barat terkait program nuklirnya.
Pezeshkian juga mengecam keras Israel atas genosida di Gaza, serangan terhadap Lebanon, menentang perang dan menekankan perlunya penghentian segera konflik militer di Ukraina.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan narasi Ukraina dijadikan alat ekspansi NATO dan Rusia memperalat Iran adalahmenyesatkan.
Posisi NATO mendukung Ukraina karena menilai tindakan Rusia itu mencaplok wilayah Ukraina sejak 2014 mulai dari Krimea, Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia, sebagai upaya aneksasi wilayah Eropa terbesar dengan kekerasan sejak Perang Dunia Kedua. Referendum di wilayah-wilayah tersebut dinilai telah direkayasa di Moskow dan dipaksakan kepada Ukraina. Referendum tersebut tidak memiliki legitimasi, dan NATO tidak mengakuinya.
Sedangkan hubungan Rusia dan Iran sebagai keputusan pragmatis karena merasa sama-sama disudutkan oleh AS dan sekutunya. Iran juga melihat Rusia sebagai kesempatan mereka menjual senjata. Bahkan Presiden Iran yang baru, menyatakan tidak lagi menjual ke Rusia dan mendukung Ukraina.
Rujukan
Publish date : 2024-09-26