Berita
Sejumlah narasi beredar di Facebook oleh akun ini, ini, ini, ini, ini, ini, dan ini yang menyatakan aksi demonstrasi ‘Kawal Putusan MK’ dan ‘Peringatan Darurat’ hanya menguntungkan kepentingan elit politik dan tidak terkait dengan kebutuhan rakyat kecil.
Dalam narasi itu disebut bahwa demonstrasi yang digelar pada 22 Agustus 2024 dan beberapa hari setelahnya, dikendalikan oleh elit politik tertentu. Konten-konten itu juga menyatakan bahwa tuntutan-tuntutan dalam serangkaian aksi demonstrasi itu tidak berkaitan dengan kebutuhan rakyat kecil seperti harga sembako dan pemberantasan korupsi.
Namun, benarkah demonstrasi kawal putusan MK hanya menguntungkan elit politik dan tidak pro pada rakyat kecil?
HASIL CEK FAKTA
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan aksi demonstrasi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 Agustus 2024 berfokus mengembalikan aturan pemilihan kepala daerah agar sesuai konstitusi.
Dia mengatakan, Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi berwenang menafsirkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara dan meletakkannya dalam undang-undang. Maka MK berwenang mengeluarkan putusan bernomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 tentang batas bawah pencalonan dalam pilkada dan batas usia calon dalam pilkada.
Putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 mengizinkan partai atau gabungan partai, baik yang memiliki wakil di DPRD maupun yang tidak dapat mendaftarkan calon dalam pilkada dengan syarat tertentu.
Sementara putusan bernomor 70/PUU-XXII/2024 mengatakan usia calon kepala daerah minimal 30 tahun saat dia mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPUD). Hal ini menegaskan bahwa batas usia itu tidak dihitung saat pelantikan menjadi kepala daerah jika terpilih.
Dua putusan itu yang kemudian dikawal oleh elemen masyarakat sipil melalui aksi Peringatan Darurat pada 22 Agustus, karena DPR RI bermanuver untuk mengesahkan revisi UU Pilkada yang isinya justru menganulir putusan MK tersebut.
“Demonstrasi kawal putusan MK (dikatakan) boneka elit, itu salah. Karena kita harus kembalikan bagaimana MK atau putusan itu, sebenarnya tidak menguntungkan satu atau dua partai lho,” kata Bivitri melalui pesan, Kamis, 12 September 2024.
Dia mengatakan dua putusan MK tersebut menguntungkan banyak pihak, tidak hanya elit politik tertentu. Misalnya dengan putusan 60/PUU-XXII/2024, partai kecil dan partai baru yang tidak memiliki wakil di DPRD, bisa mendaftarkan calon kepala daerah dalam pilkada.
Bivitri juga mengatakan aksi demonstrasi Kawal Putusan MK bertujuan mencegah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyalahgunakan kewenangannya dengan mengubah UU Pilkada yang tak sejalan dengan putusan MK.
Konstitusi Indonesia telah mengatur bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Itu berarti yang berarti seluruh undang-undang yang dibuat DPR seharusnya menyesuaikan dengan putusan MK.
Dua putusan MK tersebut, Bivitri menjelaskan sesungguhnya menguntungkan semua pihak, termasuk rakyat kecil. Lantaran rakyat kecil jadi bisa ikut menentukan calon dan partai yang muncul di pilkada, bukan hanya pemilik uang dan kekuasaan sebagaimana yang sering terjadi.
“Demonstrasi kawal putusan MK justru sangat pro rakyat kecil. Karena dengan adanya demonstrasi itu, dampaknya adalah Undang-undang Pilkada yang mau membalikkan putusan MK jadi dibatalkan. Maka kita semua rakyat kecil dan rakyat besar, semua penduduk, semua warga negara Indonesia, punya lebih banyak pilihan politik tentang kepala-kepala daerahnya masing-masing,” kata dia lagi.
Terkait kelompok tertentu yang mendapat keuntungan dari aksi demonstrasi di berbagai daerah itu, Bivitri menjelaskan, bahwa hal itu tak dapat dihindari. Setiap terjadi peristiwa politik, pasti ada pihak yang diuntungkan.
Namun dikatakannya fokus demonstrasi ‘Kawal Putusan MK’ adalah menuntut penyelenggaraan pilkada mematuhi putusan MK.
Pendapat Para Pakar
Sesungguhnya sejumlah pakar telah menjelaskan pentingnya pengawalan terhadap putusan MK bernomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat pencalonan dalam Pilkada, sebagaimana diberitakan VOA Indonesia.
Reaksi protes sejumlah kelompok masyarakat muncul lantaran reaksi cepat Badan Legislatif (Baleg) DPR terhadap dua keputusan tersebut. Mereka justru berniat mengesahkan revisi UU Pilkada dengan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan putusan MK tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyatakan bahwa rencana DPR tersebut bertentangan dengan demokrasi dan pembangkangan atas konstitusi.
Dia mengatakan MK merupakan lembaga yang berwenang menafsirkan undang-undang (UU), sehingga langkah mereka mengeluarkan dua putusan tersebut benar. Ia mendukung aksi demonstrasi agar DPR membatalkan niat mereka merevisi UU Pilkada yang tak sejalan putusan MK.
"Kalau DPR dan pemerintah bisa membangkang (pada konstitusi), masyarakat sipil juga bisa membangkang. Kalau pilkada dijalankan dengan cara-cara seperti ini, berdasarkan syahwat para kartel politik, nggak ada gunanya pilkada itu, karena dibangun dengan cara-cara kotor," kata Herdiansyah.
Pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan revisi UU Pilkada tidak akan sah bila tetap dilaksanakan. Lantaran sejumlah syarat tidak terpenuhi, misalnya penyusunan naskah akademik dan penyerapan aspirasi masyarakat, yang belum dilakukan.
Dilansir Kompas.com, Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Firman Noor, menyatakan bahwa rencana DPR merevisi UU Pilkada yang tak selaras putusan MK merupakan langkah mundur dalam berdemokrasi dan sikap memalukan dari para pejabat.
Selain itu, dia mengatakan hal langkah para wakil rakyat itu memperlihatkan mereka tidak memperdulikan aspirasi rakyat, serta mengesampingkan pendidikan politik yang seharusnya diperlihatkan agar menjadi teladan masyarakat.
"Secara substansial mereka lebih mementingkan dirinya, lebih mementingkan kelompoknya, untuk makin membuat kartelisasi politik di Indonesia semakin masif bekerja sama dengan para oligarki untuk kepentingan sesaat," kata Firman, Rabu, 21 Agustus 2024.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan narasi yang mengatakan demonstrasi Kawal Putusan MK hanya menyuarakan kepentingan elit politik dan tidak pro rakyat kecil adalah klaim yangmenyesatkan.
Hasil dari protes di berbagai daerah tersebut, DPR membatalkan rencana revisi UU Pilkada yang memiliki pasal yang keluar dari jalur konstitusi. Dengan demikian, persyaratan partai yang boleh mendaftarkan calon kepala daerah, dilihat dari jumlah suara yang didapatnya dari rakyat, bukan dari jumlah kursi mereka di DPRD.
Rujukan
Publish date : 2024-09-13