Berita
Salah satu akun media sosial X [ arsip ] membagikan video dengan klaim Tom Lembong mensponsori demonstrasi pada 22 Agustus 2024 di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI). Video itu memperlihatkan Tom Lembong sedang menyampaikan orasi bersama buruh. “Oh ternyata demo 22 Agustus 2024 disponsori oleh Tom Lembong, bos Timah 271 Triliun,” narasi yang dituliskan pembuat konten.
Sejak diunggah pada 23 Agustus 2024, video berdurasi 2 menit 20 detik ini sudah ditonton 100 ribuan pengguna X, 331 kali disukai, 107 repost, 34 quotes dan 33 bookmarks.
Namun, benarkah demonstrasi Peringatan Darurat disponsori oleh Tom Lembong?
HASIL CEK FAKTA
Tom Lembong memang hadir dan ikut berorasi di depan gedung DPR RI pada 22 Agustus 2024. Akan tetapi hadirnya Tom Lembong tidak serta merta aksi tersebut dibiayai dan digerakkan oleh eks Menteri Perdagangan era Joko Widodo tersebut.
Sebab selain Tom Lembong, aksi tersebut juga dihadiri banyak elemen masyarakat lainnya seperti selebritis, buruh, akademisi, aktivis dll. Sejumlah komedian seperti Abdel Achrian, Adjis Doaibu, Rigen, Mamat Alkatiri, Abdur Asryad, Bintang Emon, Yuda Keling, hingga Arie Kriting juga terlihat di depan Gedung DPR. Ada pula Aktivis ’98 Alif Iman dan aktor Reza Rahadian.
Juga organisasi masyarakat sipil seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI),Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Muhammad Isnur. Seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat sipil yang demonstrasi, kata dia, untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan dianulir oleh DPR RI melalui sidang paripuna pada pada 22 Agustus 2024. Aksi itu juga terjadi di banyak kota lainnya yang bergerak bukan karena sponsor.
“Seluruh mahasiswa bergerak dengan nurani, bukan disponsori. Ada lebih dari 30 kota demonstrasi dengan ribuan orang, bagaimana mau menggerakkan?” kata Isnur kepada Tempo saat dihubungi, Senin, 26 Agustus 2024.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI), Alif Lathif, membantah klaim yang mengatakan demonstrasi kawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) disponsori Tom Lembong.
“Kalau dikatakan disponsori tentu saja tidak benar. Kami tidak ada urusan apapun dengan para elit politik di atas sana. Kami juga tidak percaya sama sekali dengan semua elit politik yang ada. Kami tidak ditunggangi oleh siapapun dan untuk kepentingan apapun, kecuali kepentingan rakyat dan negara hukum,” ucap Alif.
Kepada Tempo, dia menegaskan yang mendasari mahasiswa berdemonstrasi kemarin karena kesadaran secara bersama.
“Kami turun ke jalan karena kami marah dengan upaya DPR RI untuk mengacak-ngacak hukum negara ini demi kepentingan golongan elit politik saja. Kami marah terhadap manuver DPR RI untuk mengangkangi putusan MK,” tutur Alif.
Menurut dia, gerakan tersebut juga merupakan puncak kemarahan rakyat terhadap upaya-upaya DPR dan pemerintah untuk membangkangi konstitusi.
Dalam laporan BBC edisi 22 Agustus 2024, menjelaskan tentang kronologi gerakan tersebut yang berawal dari media sosial. Analisis jaringan sosial Drone Emprit menemukan unggahan ‘Garuda Biru Peringatan Darurat’ pertama kali dibuat akun media sosial X @BudiBukanIntel pada Rabu (21/08) sekitar pukul 08.00 WIB.
BBC News Indonesia menghubungi akun tersebut pada Kamis (22/08). Akun @BudiBukanIntel mengaku dirinya tidak menyangka akan menjadi viral sampai seperti ini.
“Mau lucu-lucuan saja,” ujar @BudiBukanIntel yang awalnya menanggapi unggahan rekannya di X.
“Kebetulan [saya] juga sukanya aktivisme hak sipil, jadi mutual [sesama pengikut di X] banyak yang memang sebal sama Jokowi, termasuk saya.” Dia lalu menambahkan unggahannya kemudian dibagikan hingga sampai ke akun-akun lainnya dan menjadi ramai.
Ikon burung Garuda biru itu kemudian dibagikan secara luas oleh akun-akun selebritis, aktivis, jurnalis, penulis dan media di berbagai platform media sosial seperti X, Instagram, dan Facebook. Gerakan media sosial itu memantik aksi nyata melalui unjuk rasa di depan DPR RI yang diikuti di banyak kota lainnya di Indonesia hingga Senin kemarin 26 Agustus 2024.
Bermula dari Kawal Putusan MK
Tempo sebelumnya menulis bahwa MK dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik atau parpol. Semula syaratnya minimal 20 persen kursi parlemen. MK lalu memutuskan parpol maupun koalisi yang tidak mendapatkan kursi di DPRD tetap bisa mencalonkan kandidat, asalkan memenuhi perolehan suara yang disyaratkan MK yakni antara 6,5 persen - 10 persen sesuai dengan jumlah daftar pemilih tetap.
Selain itu, melalui putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menetapkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berumur minimal 30 tahun saat pendaftaran. Keputusan ini juga berlaku pada beberapa perkara lain yang memiliki isu hukum yang sama, yaitu tentang batasan usia minimum calon kepala daerah.
Namun, saat pembahasan perubahan keempat UU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR hanya menyepakati penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi DPRD. Sementara partai politik yang mendapatkan kursi parlemen daerah tetap menggunakan syarat lama ambang batas Pilkada, yakni 25 persen dari perolehan suara pemilihan legislatif DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
Baleg juga mengabaikan Keputusan MK No. 70 dengan mengacu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok pada 29 Mei 2024. Putusan mengubah syarat usia calon kepala daerah. Putusan MA menyebut calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun saat dilantik sebagai pasangan calon.
Rumusan draf revisi RUU Pilkada itu disetujui tujuh dari delapan fraksi di Baleh untuk dibawa ke Sidang Paripurna yang dijadwalkan pada Kamis 22 Agustus 2024.
Manuver DPR itu yang kemudian membuat publik marah. Padahal sesuai amanat UUD 1945 hasil amandemen pada Pasal 24C, disebutkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Dikutip dari Kompas.com, pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung (MK) tidak dapat dianulir dengan revisi undang-undang yang sebelumnya dibatalkan MK.
"Jika ada perubahan undang-undang yang tidak sesuai dengan Putusan MK, (maka undang-undang itu) dikatakan sebagai tidak mematuhi hukum," ucap guru besar yang sempat menjadi kandidat hakim konstitusi itu. Ia menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga DPR, presiden, hingga KPU harus melaksanakannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta, video berisi klaim demonstrasi Peringatan Darurat Disponsori Tom Lembong, keliru.
Seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat sipil yang demonstrasi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 Agustus 2024 di berbagai kota di Indonesia, termasuk di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rakyat Indonesia (RI), bergerak bukan karena sponsor.
Rujukan
https://x.com/gustavssondhela/status/1826967382872764673?t=sHLhhxEsajvWb5S_Vb8b9Q&s=08
https://web.archive.org/web/20240826043216/
https://x.com/gustavssondhela/status/1826967382872764673?t=sHLhhxEsajvWb5S_Vb8b9Q&s=08&mx=2
Publish date : 2024-08-27