Berita
Sebuah postingan beredar dengan narasi aksi mahasiswa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia merupakan aksi untuk membela kepentingan PDIP dan Anies Baswedan agar bisa ikut Pilkada Jakarta.
Unggahan yang diposting di media sosial X, 23 Agustus 2024 itu, sudah dilihat 84 ribu kali dan telah 143 kali telah dibagikan ulang. Lantas, benarkah aksi mahasiswa di depan Gedung DPR merupakan aksi membela kepentingan PDI Perjuangan dan Anies Baswedan agar bisa ikut Pilkada 2024?
HASIL CEK FAKTA
Hasil verifikasi Tempo menunjukkan aksi ribuan mahasiswa di depan gedung DPR RI yang diikuti dengan aksi di sejumlah kota lainnya, untuk merespon langkah DPR RI mengesahkan revisi UU Pilkada yang isinya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan dan usia minimal pencalonan gubernur pada Pilkada 28 November mendatang.
Aksi tersebut tak hanya diikuti oleh mahasiswa tetapi banyak elemen masyarakat lainnya seperti selebritis, buruh, akademisi dll. Sejumlah komedian seperti Abdel Achrian, Adjis Doaibu, Rigen, Mamat Alkatiri, Abdur Asryad, Bintang Emon, Yuda Keling, hingga Arie Kriting juga terlihat di depan Gedung DPR. Ada pula Aktivis ’98 Alif Iman dan aktor Reza Lawang.
Juga organisasi masyarakat sipil seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI),Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan dilihat dari keragaman massa yang terlibat dalam demonstrasi, sangat tidak relevan disebut sebagai aksi untuk membela kepentingan PDI Perjuangan dan Anies Baswedan.
Aksi tersebut terlihat murni merupakan bentuk protes terhadap praktek pembangkangan terhadap konstitusi yang diperlihatkan DPR. “Jadi narasi yang dibangun seperti ini adalah narasi yang bertujuan untuk menyesatkan publik dan ini jelas merupakan narasi yang salah,” kata Bivitri kepada Tempo.
Menurut Bivitri, secara aturan, putusan MK sebenarnya menguntungkan banyak pihak termasuk partai kecil yang sebelumnya tidak bisa mengusung calon pada pemilihan kepala daerah. Putusan MK soal ambang ini membuat Partai yang tidak memperoleh kursi DPRD, tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat presentasi yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).
Tempo sebelumnya menulis bahwa MK dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik atau parpol. Semula syaratnya minimal 20 persen kursi parlemen. MK lalu memutuskan parpol maupun koalisi yang tidak mendapatkan kursi di DPRD tetap bisa mencalonkan kandidat, asalkan memenuhi perolehan suara yang disyaratkan MK yakni antara 6,5 persen - 10 persen sesuai dengan jumlah daftar pemilih tetap.
Selain itu, melalui putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menetapkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berumur minimal 30 tahun saat pendaftaran. Keputusan ini juga berlaku pada beberapa perkara lain yang memiliki isu hukum yang sama, yaitu tentang batasan usia minimum calon kepala daerah.
Namun, saat pembahasan perubahan keempat UU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR hanya menyepakati penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi DPRD. Sementara partai politik yang mendapatkan kursi parlemen daerah tetap menggunakan syarat lama ambang batas Pilkada, yakni 25 persen dari perolehan suara pemilihan legislatif DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
Baleg juga mengabaikan Keputusan MK No. 70 dengan mengacu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok pada 29 Mei 2024. Putusan mengubah syarat usia calon kepala daerah. Putusan MA menyebut calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun saat dilantik sebagai pasangan calon.
Rumusan draft revisi RUU Pilkada itu disetujui tujuh dari delapan fraksi di Baleh untuk dibawa ke Sidang Paripurna yang dijadwalkan pada Kamis 22 Agustus 2024.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin dikutip dari Antara, mengatakan manuver Baleg DPR RI tersebut kental kepentingan memuluskan langkah anak bungsu Presiden Jokowi yang akan maju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Tengah, karena usianya belum genap 30 tahun saat masa pendaftaran dan penetapan calon gubernur dan wakil gubernur yang dijadwalkan 22 September 2024.
Usia Kaesang baru mencapai 30 tahun pada 25 Desember 2024. Namun menurut Bisnis.com, Kaesang telah mengurus surat-surat ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyongsong waktu pendaftaran calon kepala daerah Pilkada Serentak 2024 yang akan dibuka pada 27 Agustus pekan depan.
“Itu yang dipertanyakan oleh publik, oleh masyarakat, kenapa begitu cepat kilat dan memutuskan usia 30 tahun sesuai keputusan MA,” kata Komarrudin.
Padahal sesuai amanat UUD 1945 hasil amandemen pada Pasal 24C, disebutkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Dikutip dari Kompas.com, pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung (MK) tidak dapat dianulir dengan revisi undang-undang yang sebelumnya dibatalkan MK.
"Jika ada perubahan undang-undang yang tidak sesuai dengan Putusan MK, (maka undang-undang itu) dikatakan sebagai tidak mematuhi hukum," ucap guru besar yang sempat menjadi kandidat hakim konstitusi itu. Ia menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga DPR, presiden, hingga KPU harus melaksanakannya.
Gerakan “Peringatan Darurat” Bermula dari Media Sosial
Gerakan untuk menolak manuver DPR RI yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, dimulai dari gelombang protes di media sosial pada 21 Agustus 2024, setelah Baleg DPR mengumumkan akan membawa revisi UU Pilkada ke Sidang Paripurna keesokan harinya.
Ribuan warganet mengunggah ikon garuda biru yang bertuliskan “Peringatan Darurat” di sejumlah platform media sosial seperti X, Facebook, Instagram, dan TikTok. Analisa Drone Emprit menunjukkan inisiatif ikon garuda biru itu dimulai dari akun @BudiBukanIntel pada 21 Agustus jam 8 pagi, untuk merespon cuitan satire di Twitter tentang pendudukan Istana oleh militer.
Ikon tersebut kemudian diamplifikasi oleh akun-akun berpengikut besar di antaranya Mata Najwa, Ivooxid, Project Multatuli dan lain-lain yang menghubungkan kondisi Garuda sebagai representasi Indonesia yang berada dalam situasi darurat.
Gerakan “Peringatan Darurat” makin membesar di malam hari yang saling mengajak seruan untuk berunjuk rasa melawan rencana pengesahan RUU Pilkada oleh DPR RI. Gelombang protes di media sosial itu kemudian berhasil melahirkan aksi secara langsung sejak Kamis, 22 Agustus hingga 26 Agustus.
KESIMPULAN
Hasil pemeriksaan Tempo, postingan dengan narasi aksi demonstrasi mahasiswa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia merupakan aksi untuk membela kepentingan PDI Perjuangan dan Anies Baswedan agar bisa ikut Pilkada Jakarta adalah keliru.
Aksi mahasiswa merupakan bentuk protes terhadap keputusan panitia kerja (panja) Badan Legislasi atau Baleg DPR RI yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau UU Pilkada.
Demonstrasi besar itu dipicu manuver DPR yang menganulir putusan MK soal syarat pencalonan kepala daerah dan syarat usia calon kepala daerah. DPR alih-alih mengikuti putusan MK justru menggelar pembahasan Revisi UU Pilkada. Pembahasan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam dan tidak berhubungan dengan kepentingan PDIP maupun Anies Baswedan.
Rujukan
https://x.com/xquitavee/status/1826937897846821071?t=CVyZwWEsHAyboJm1PNK7Yg&s=08
https://x.com/DroneEmpritOffc/status/1826648933462147477?t=0JkU2e_voziVWAIhRSBfZQ&s=08
Publish date : 2024-08-26