Berita
KOMPAS.com - Beredar video yang mengeklaim Kejadian Luar Biasa (KLB) polio di Indonesia terjadi akibat pemberian vaksin polio tipe 2.
Dalam video berdurasi 1 menit, seorang pria menjelaskan, sudah lama tidak ada wabah polio di Indonesia.
Ia menyimpulkan, KLB yang belakangan terjadi akibat pemberian vaksin oral polio tipe 2.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi itu tidak benar atau hoaks.
Informasi yang mengeklaim KLB polio di Indonesia disebabkan oleh pemberian vaksin polio tipe 2 disebarkan oleh akun Facebook ini, ini, ini, ini, ini, dan ini.
Berikut narasi yang ditulis salah satu akun pada Rabu (24/7/2024):
BismillahirrahmanirrahimWalaupun keadaan sedang rapuh tetapi tetap harus berswaraVaksin polio type 2 justru berpotensi menimbulkan KLB Polio
Laporan WHO bahwa KLB ( Kejadian Luar Biasa ) polio di Indonesia berasal dari vaksin polio tipe 2
Semua kembali ke pilihan orang tua, sebab mandatory akan terus di lakukan selama orang tua nya tidak berbenah diri dan tidak mencari ilmunya
Dalam video berdurasi 1 menit, seorang pria menjelaskan, sudah lama tidak ada wabah polio di Indonesia.
Ia menyimpulkan, KLB yang belakangan terjadi akibat pemberian vaksin oral polio tipe 2.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi itu tidak benar atau hoaks.
Informasi yang mengeklaim KLB polio di Indonesia disebabkan oleh pemberian vaksin polio tipe 2 disebarkan oleh akun Facebook ini, ini, ini, ini, ini, dan ini.
Berikut narasi yang ditulis salah satu akun pada Rabu (24/7/2024):
BismillahirrahmanirrahimWalaupun keadaan sedang rapuh tetapi tetap harus berswaraVaksin polio type 2 justru berpotensi menimbulkan KLB Polio
Laporan WHO bahwa KLB ( Kejadian Luar Biasa ) polio di Indonesia berasal dari vaksin polio tipe 2
Semua kembali ke pilihan orang tua, sebab mandatory akan terus di lakukan selama orang tua nya tidak berbenah diri dan tidak mencari ilmunya
HASIL CEK FAKTA
Indonesia pernah mendapat sertifikat bebas polio dari Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pada 2014.
Status bebas polio tersebut membuat Indonesia terlena dan tidak mengantisipasi adanya kasus polio liar. Kini, WHO mengkategorikan Indonesia sebagai wilayah berisiko tinggi penularan polio.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, ada 32 provinsi dan 399 kabupaten/kota di Indonesia masuk dalam kategori risiko tinggi polio.
Berdasarkan catatan sepanjang 2022 sampai 2024, ada 11 kasus kelumpuhan akibat virus polio tipe 2 dan satu kasus akibat virus polio tipe 1.
Terdapat tiga tipe virus polio yang mampu menyerang sistem saraf dan menyebabkan kelumpuhan.
Umumnya, negara-negara yang mengalami outbreak didominasi dengan virus polio tipe 2 yang muncul dari dua sumber.
Pertama, virus polio liar atau Wild Poliovirus (WPV). Sumber virus ini sangat jarang, tetapi dapat ditemukan di daerah yang memiliki cakupan vaksinasi yang tidak memadai.
Kedua, Vaccine Derived Poliovirus (VDPV). Ini merupakan bentuk virus yang bermutasi dari strain virus yang dilemahkan dari vaksin polio oral.
Pada 17 Maret 2023, ditemukan kasus virus polio tipe 2 yang diturunkan dari vaksin (cVDPV2) yang beredar pada bayi perempuan berusia 48 bulan di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
WHO mencatat, pasien tersebut belum pernah menerima dosis vaksin virus polio oral (OPV) atau vaksin virus polio yang tidak aktif (IPV) sebelumnya.
Spesimen tinja dikumpulkan dan terkonfirmasi sebagai cVDPV2. Hasil sekuensing genetik menunjukkan isolat tersebut telah mengalami 30 hingga 31 perubahan nukleotida dari strain vaksin.
Virus polio yang diturunkan dari vaksin merupakan strain virus polio yang terdokumentasi dengan baik dan bermutasi dari strain aslinya yang terkandung dalam OPV.
OPV mengandung virus polio hidup yang dilemahkan dan bereplikasi di usus untuk jangka waktu terbatas, sehingga mengembangkan kekebalan dengan membangun antibodi.
Dalam kasus yang sangat jarang terjadi, ketika bereplikasi di saluran pencernaan, strain OPV berubah secara genetik dan dapat menyebar di komunitas yang cakupan vaksinasinya rendah.
Terutama di daerah yang kebersihan dan saitasinya buruk, serta padat penduduk.
Semakin rendah cakupan vaksinasi, semakin lama virus ini bertahan dan semakin banyak pula perubahan genetik yang dialaminya.
Dalam kasus yang sangat jarang terjadi, virus yang diturunkan dari vaksin secara genetik dapat berubah menjadi bentuk yang dapat menyebabkan kelumpuhan seperti halnya virus polio liar, inilah yang dikenal sebagai virus polio yang diturunkan dari vaksin atau VDPV.
Epidemiolog dan peneliti keamanan kesehatan Griffith University, Dicky Budiman menjelaskan, secara teoritis, VDPV memang dapat memunculkan KLB. Namun, penyebabnya bukan karena pemberian vaksinasi.
"Dalam kondisi yang sangat jarang, virus ini bisa berubah jadi bentuk yang lebih virulen, lebih menural, menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada individu yang belum terimunisasi atau komunitas dengan cakupan imunisasi yang rendah," kata Dikcy saat dihubungi Kompas.com, Senin (29/7/2024).
Ia menekankan, masalah utama munculnya KLB adalah cakupan vaksinasi yang rendah.
"Kejadian ini amat sangat jarang terjadi. Umumnya, sekali lagi, hanya pada daerah yang benar-benar rendah atau bahkan belum memiliki cakupan vaksinasi yang memadai," ujar Dicky.
Sehingga, langkah yang tepat dilakukan adalah memastikan vaksinasi polio dilakukan secara meluas agar tercapai herd immunity.
Ditambah dengan surveilans, tindakan cepat, dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat vaksinasi.
Dicky menyarankan, Indonesia perlu mengganti oral polio vaksin dengan IVP atau inactivated polio vaccine yang tidak mengandung virus hidup.
"Kalaupun benar terjadi outbreak dengan polio tipe 2, ini di Indonesia atau negara mana pun sangat jarang. Dan ini juga sebetulnya menunjukkan pentingnya mempercepat eliminasi polio melalui vaksinasi dan surveilans yang kuat," kata dia.
Pemerintah melalui Kemenkes telah menggencarkan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) polio tahap kedua kepada anak usia 0-7 tahun, dengan memberikan vaksin tetes dan suntik.
"Pelaksanaan PIN polio akan dilakukan secara massal dan serentak untuk mencapai kekebalan kelompok yang optimal dan dapat mencegah perluasan transmisi virus polio," kata Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Yudi Pramono, dikutip dari situs Kemenkes.
Vaksin polio tetes diberikan sebanyak tiga kali kepada anak usia 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan, yang dikenal dengan OPV 1, OPV 2 dan OPV 3.
Sedangkan pada anak usia 4 bulan, pemberian vaksin digabung, yakni tetes dan suntik yang disebut dengan IPV.
Kemudian, pada anak usia 9 bulan akan kembali diberikan vaksin IPV 2.
Pemberian imunisasi lengkap kombinasi ini telah mendapatkan rekomendasi dari Komite Imunisasi Nasional (KIN), Komite Ahli Surveilans PD3I, WHO, dan UNICEF.
Melalui akun Instagramnya, Kemenkes menjelaskan, vaksin polio tipe 2 atau nOPV2 tidak menyebabkan KLB.
Vaksin ini telah dikaji oleh Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) dan telah diberikan di 13 negara di dunia.
Status bebas polio tersebut membuat Indonesia terlena dan tidak mengantisipasi adanya kasus polio liar. Kini, WHO mengkategorikan Indonesia sebagai wilayah berisiko tinggi penularan polio.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, ada 32 provinsi dan 399 kabupaten/kota di Indonesia masuk dalam kategori risiko tinggi polio.
Berdasarkan catatan sepanjang 2022 sampai 2024, ada 11 kasus kelumpuhan akibat virus polio tipe 2 dan satu kasus akibat virus polio tipe 1.
Terdapat tiga tipe virus polio yang mampu menyerang sistem saraf dan menyebabkan kelumpuhan.
Umumnya, negara-negara yang mengalami outbreak didominasi dengan virus polio tipe 2 yang muncul dari dua sumber.
Pertama, virus polio liar atau Wild Poliovirus (WPV). Sumber virus ini sangat jarang, tetapi dapat ditemukan di daerah yang memiliki cakupan vaksinasi yang tidak memadai.
Kedua, Vaccine Derived Poliovirus (VDPV). Ini merupakan bentuk virus yang bermutasi dari strain virus yang dilemahkan dari vaksin polio oral.
Pada 17 Maret 2023, ditemukan kasus virus polio tipe 2 yang diturunkan dari vaksin (cVDPV2) yang beredar pada bayi perempuan berusia 48 bulan di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
WHO mencatat, pasien tersebut belum pernah menerima dosis vaksin virus polio oral (OPV) atau vaksin virus polio yang tidak aktif (IPV) sebelumnya.
Spesimen tinja dikumpulkan dan terkonfirmasi sebagai cVDPV2. Hasil sekuensing genetik menunjukkan isolat tersebut telah mengalami 30 hingga 31 perubahan nukleotida dari strain vaksin.
Virus polio yang diturunkan dari vaksin merupakan strain virus polio yang terdokumentasi dengan baik dan bermutasi dari strain aslinya yang terkandung dalam OPV.
OPV mengandung virus polio hidup yang dilemahkan dan bereplikasi di usus untuk jangka waktu terbatas, sehingga mengembangkan kekebalan dengan membangun antibodi.
Dalam kasus yang sangat jarang terjadi, ketika bereplikasi di saluran pencernaan, strain OPV berubah secara genetik dan dapat menyebar di komunitas yang cakupan vaksinasinya rendah.
Terutama di daerah yang kebersihan dan saitasinya buruk, serta padat penduduk.
Semakin rendah cakupan vaksinasi, semakin lama virus ini bertahan dan semakin banyak pula perubahan genetik yang dialaminya.
Dalam kasus yang sangat jarang terjadi, virus yang diturunkan dari vaksin secara genetik dapat berubah menjadi bentuk yang dapat menyebabkan kelumpuhan seperti halnya virus polio liar, inilah yang dikenal sebagai virus polio yang diturunkan dari vaksin atau VDPV.
Epidemiolog dan peneliti keamanan kesehatan Griffith University, Dicky Budiman menjelaskan, secara teoritis, VDPV memang dapat memunculkan KLB. Namun, penyebabnya bukan karena pemberian vaksinasi.
"Dalam kondisi yang sangat jarang, virus ini bisa berubah jadi bentuk yang lebih virulen, lebih menural, menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada individu yang belum terimunisasi atau komunitas dengan cakupan imunisasi yang rendah," kata Dikcy saat dihubungi Kompas.com, Senin (29/7/2024).
Ia menekankan, masalah utama munculnya KLB adalah cakupan vaksinasi yang rendah.
"Kejadian ini amat sangat jarang terjadi. Umumnya, sekali lagi, hanya pada daerah yang benar-benar rendah atau bahkan belum memiliki cakupan vaksinasi yang memadai," ujar Dicky.
Sehingga, langkah yang tepat dilakukan adalah memastikan vaksinasi polio dilakukan secara meluas agar tercapai herd immunity.
Ditambah dengan surveilans, tindakan cepat, dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat vaksinasi.
Dicky menyarankan, Indonesia perlu mengganti oral polio vaksin dengan IVP atau inactivated polio vaccine yang tidak mengandung virus hidup.
"Kalaupun benar terjadi outbreak dengan polio tipe 2, ini di Indonesia atau negara mana pun sangat jarang. Dan ini juga sebetulnya menunjukkan pentingnya mempercepat eliminasi polio melalui vaksinasi dan surveilans yang kuat," kata dia.
Pemerintah melalui Kemenkes telah menggencarkan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) polio tahap kedua kepada anak usia 0-7 tahun, dengan memberikan vaksin tetes dan suntik.
"Pelaksanaan PIN polio akan dilakukan secara massal dan serentak untuk mencapai kekebalan kelompok yang optimal dan dapat mencegah perluasan transmisi virus polio," kata Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Yudi Pramono, dikutip dari situs Kemenkes.
Vaksin polio tetes diberikan sebanyak tiga kali kepada anak usia 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan, yang dikenal dengan OPV 1, OPV 2 dan OPV 3.
Sedangkan pada anak usia 4 bulan, pemberian vaksin digabung, yakni tetes dan suntik yang disebut dengan IPV.
Kemudian, pada anak usia 9 bulan akan kembali diberikan vaksin IPV 2.
Pemberian imunisasi lengkap kombinasi ini telah mendapatkan rekomendasi dari Komite Imunisasi Nasional (KIN), Komite Ahli Surveilans PD3I, WHO, dan UNICEF.
Melalui akun Instagramnya, Kemenkes menjelaskan, vaksin polio tipe 2 atau nOPV2 tidak menyebabkan KLB.
Vaksin ini telah dikaji oleh Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) dan telah diberikan di 13 negara di dunia.
KESIMPULAN
Narasi yang mengeklaim KLB polio di Indonesia disebabkan oleh pemberian vaksin polio tipe 2 adalah hoaks.
Masalah utama munculnya KLB akibat virus polio yang diturunkan dari vaksin atau VDPV, adalah cakupan imunisasi yang rendah. Penyebab lain, ditambah masalah kebersihan, perairan dan sanitasi buruk, serta kepadatan penduduk.
Kemenkes menerapkan imunisasi kombinasi, oral dan suntik sesuai rekomendasi KIN, Komite Ahli Surveilans PD3I, WHO, dan UNICEF.
Masalah utama munculnya KLB akibat virus polio yang diturunkan dari vaksin atau VDPV, adalah cakupan imunisasi yang rendah. Penyebab lain, ditambah masalah kebersihan, perairan dan sanitasi buruk, serta kepadatan penduduk.
Kemenkes menerapkan imunisasi kombinasi, oral dan suntik sesuai rekomendasi KIN, Komite Ahli Surveilans PD3I, WHO, dan UNICEF.
Rujukan
https://www.facebook.com/61557718845713/videos/1454972535186051
https://www.facebook.com/100079965219100/videos/2224175597962989
https://www.facebook.com/reel/533724085651349
https://www.facebook.com/100000104255233/videos/943131347615726/
https://www.facebook.com/100079619607582/videos/1446957149296826
https://www.facebook.com/siskha.yulianti/videos/1173864240431987
https://ugm.ac.id/id/berita/guru-besar-ugm-waspada-klb-cegah-polio-dengan-vaksinasi/
https://www.who.int/emergencies/disease-outbreak-news/item/2023-DON458
https://www.instagram.com/p/C94wEQ7zHhv/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading
Publish date : 2024-07-30