Berita
Liputan6.com, Jakarta- Cek Fakta Liputan6.com mendapati klaim fenomena Aphelion mengakibatkan suhu bumi lebih dingin, informasi tersebut diunggah salah satu akun Facebook, pada 7 Juli 2024.
Unggahan klaim fenomena Aphelion mengakibatkan suhu bumi lebih dingin dan menimbulkan penyakit berupa tulisan sebagai berikut.
"BERSIAP-SIAP MENGHADAPI SUHU BUMI LEBIH DINGIN DARI BIASANYA ...
Mulai pagi ini jam 05.27 kita akan mengalami FENOMENA APHELION
dimana letak Bumi akan sangat jauh dari Matahari. Kita tidak bisa melihat fenomena tsb, tp kita bisa merasakan dampaknya. Ini akan berlangsung sampai bulan Agustus.
Kita akan mengalami cuaca yg dingin melebihi cuaca dingin sebelumnya, yang akan berdampak meriang flu, batuk sesak nafas dll.
Oleh karena itu mari kita semua tingkatkan imun dengan banyak2 meminum Vitamin atau Suplemen agar imun kita kuat.
Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan_NYA. 🤲 Aamiin ...
Jarak Bumi ke Matahari perjalanan 5 menit cahaya atau 90.000.000 km. Fenomena aphelion menjadi 152.000.000 km . 66 % lebih jauh.
Jadi hawa lebih dingin, semoga tidak terlalu berdampak ke badan bagi yang tak terbiasa dengan suhu ini"
Benarkah klaim fenomena Aphelion mengakibatkan suhu bumi lebih dingin? Simak penelusuran Cek Fakta Liputan6.com.
HASIL CEK FAKTA
Cek Fakta Liputan6.com menelusuri klaim Aphelion mengakibatkan suhu bumi lebih dingin, tulisan berjudul "Fenomena Aphelion Berdampak Ke Cuaca Indonesia? Begini Penjelasannya" yang dimuat situs resmi BMKG menyebutkan, fenomena Aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara itu kondisi cuaca dingin yang terjadi di wilayah Indonesia pada periode bulan Juli tidak terkait dengan fenomena Aphelion. Saat Aphelion, posisi matahari memang berada pada titik jarak terjauh dari bumi. Kendati begitu, kondisi tersebut tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer atau cuaca di permukaan bumi.
Fenomena suhu udara dingin sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli - September). Saat ini wilayah Pulau Jawa hingga NTT berada pada musim kemarau. Periode ini ditandai pergerakan angin dari arah timur-tenggara yang berasal dari Benua Australia. Pada bulan Juli, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin.
Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudra Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin.
Selain dampak angin dari Australia, berkurangnya awan dan hujan di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara turut berpengaruh ke suhu yang dingin di malam hari. Sebab, tidak adanya uap air dan air menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer.
Tak hanya itu, langit yang cenderung bersih awannya (clear sky) akan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari. Hal ini yang kemudian membuat udara terasa lebih dingin terutama pada malam hari.
Fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi tiap tahun, bahkan hal ini pula yang nanti dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang.
Artikel berjudul "Apakah Aphelion Mempengaruhi Suhu Udara di Indonesia?" yang dimuat situs resmi BMKG menyebutkan, fenomena aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara itu, pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia.
Padahal pada faktanya, penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir. Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.
Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan.
Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi saat musim hujan atau peralihan dimana kandungan uap air di atmosfer cukup banyak, sehingga atmosfer menjadi semacam "reservoir panas" saat malam hari.
Selain itu, pada bulan Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT.Sumber:https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=apakah-aphelion-mempengaruhi-suhu-udara-di-indonesia&tag=press-release&lang=ID
KESIMPULAN
Hasil penelusuran Cek Fakta Liputan6.com, klaim fenomena Aphelion mengakibatkan suhu lebih dingin tidak benar.
Fenomena Aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara itu kondisi cuaca dingin yang terjadi di wilayah Indonesia pada periode bulan Juli tidak terkait dengan fenomena Aphelion.
Saat Aphelion, posisi matahari memang berada pada titik jarak terjauh dari bumi. Kendati begitu, kondisi tersebut tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer atau cuaca di permukaan bumi.
Publish date : 2024-07-10