Berita
KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, oposisi tidak akan dibutuhkan di pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Hal itu disampaikan Bambang usai menghadiri open house di rumah dinas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, pada 11 April 2024.
Seperti diberitakan Kompas.com, Bambang mengatakan, yang dibutuhkan dalam pemerintahan baru adalah demokrasi gotong royong.
"Dan enggak dibutuhkan lagi oposisi. Saya mendukung Pak Prabowo merangkul semua parpol untuk bersatu membangun bangsa ini ke depan," kata Bambang.
Sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo dinilai memiliki tanggung jawab untuk merangkul semua parpol masuk ke pemerintahan. Akan tetapi, bukan berarti tidak akan ada sistem checks and balances.
"Lebih gampang (checks and balances) justru. Karena kan kalau oposisi bicara pride. Kadang lari dari substansi, tapi kalau satu koalisi bisa bicara dari hati ke hati dan lebih baik untuk masyarakat," ujar dia.
Lantas, benarkah oposisi tidak lagi dibutuhkan dalam pemerintahan?
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani, Yohanes Sulaiman, tidak sependapat dengan Bambang soal oposisi tidak lagi dibutuhkan dalam pemerintahan.
Menurut Yohanes, ketiadaan oposisi berarti tidak akan ada partai yang berani mengeluarkan kritik karena takut dikeluarkan dari koalisi pendukung pemerintah.
Ia menjelaskan, motivasi oposisi mengkritik pemerintah adalah memberikan pandangan alternatif yang bisa digunakan di pemilu berikutnya sebagai rekam jejak.
Ketiadaan oposisi dalam pemerintahan juga bermasalah secara prinsip dan moral.
"Kalau semua berada di posisi pemerintah, ya pertanyaannya adalah kalau partai tidak setuju, kenapa mereka tidak memegang prinsip dan keluar dari pemerintah?" kata Yohanes.
Menurut Yohanes, risiko ketiadaan oposisi adalah kebijakan buruk dan tindakan-tindakan berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme makin tidak terkontrol.
"Kita bisa lihat bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial tidak mendapat tanggapan dari partai-partai pendukungnya. Yang berteriak malah netizen," ujar Yohanes.
"Jadi apa guna partai kalau semua enggak ada yang berani mengkritik pemerintah karena ingin posisi dalam kabinet?" tutur dia.
Yohanes mencontohkan kurangnya oposisi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berdampak pada lahirnya kebijakan yang kontroversial.
Saat itu, partai politik yang berada di luar pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai koalisi pemerintah mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial, seperti Undang-Undang Cipta Kerja.
Sementara, partai oposisi tidak punya cukup kekuatan untuk menentang atau melawannya.
Yohanes memprediksi, hanya PKS dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang akan menjadi oposisi pada pemerintahan berikutnya.
Menurut dia, situasi itu masih belum ideal karena kedua partai tersebut tidak cukup secara kekuatan di parlemen.
"Idealnya, kubu pemerintah jangan sampai menguasai kursi mayoritas 67 persen, karena jika mencapai persentase tersebut, undang-undang dan aturan bermasalah bisa mudah digolkan tanpa mempedulikan suara oposisi," kata Yohanes.
Yohanes menegaskan, tanpa oposisi, tidak akan ada checks and balances dalam tata kelola pemerintahan.
"Pemerintah akan menjadi korup, otoriter, dan sewenang-wenang. Demokrasi akan cuma jadi formalitas ala Orde Baru," ujar Yohanes.
***
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Hal itu disampaikan Bambang usai menghadiri open house di rumah dinas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, pada 11 April 2024.
Seperti diberitakan Kompas.com, Bambang mengatakan, yang dibutuhkan dalam pemerintahan baru adalah demokrasi gotong royong.
"Dan enggak dibutuhkan lagi oposisi. Saya mendukung Pak Prabowo merangkul semua parpol untuk bersatu membangun bangsa ini ke depan," kata Bambang.
Sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo dinilai memiliki tanggung jawab untuk merangkul semua parpol masuk ke pemerintahan. Akan tetapi, bukan berarti tidak akan ada sistem checks and balances.
"Lebih gampang (checks and balances) justru. Karena kan kalau oposisi bicara pride. Kadang lari dari substansi, tapi kalau satu koalisi bisa bicara dari hati ke hati dan lebih baik untuk masyarakat," ujar dia.
Lantas, benarkah oposisi tidak lagi dibutuhkan dalam pemerintahan?
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani, Yohanes Sulaiman, tidak sependapat dengan Bambang soal oposisi tidak lagi dibutuhkan dalam pemerintahan.
Menurut Yohanes, ketiadaan oposisi berarti tidak akan ada partai yang berani mengeluarkan kritik karena takut dikeluarkan dari koalisi pendukung pemerintah.
Ia menjelaskan, motivasi oposisi mengkritik pemerintah adalah memberikan pandangan alternatif yang bisa digunakan di pemilu berikutnya sebagai rekam jejak.
Ketiadaan oposisi dalam pemerintahan juga bermasalah secara prinsip dan moral.
"Kalau semua berada di posisi pemerintah, ya pertanyaannya adalah kalau partai tidak setuju, kenapa mereka tidak memegang prinsip dan keluar dari pemerintah?" kata Yohanes.
Menurut Yohanes, risiko ketiadaan oposisi adalah kebijakan buruk dan tindakan-tindakan berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme makin tidak terkontrol.
"Kita bisa lihat bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial tidak mendapat tanggapan dari partai-partai pendukungnya. Yang berteriak malah netizen," ujar Yohanes.
"Jadi apa guna partai kalau semua enggak ada yang berani mengkritik pemerintah karena ingin posisi dalam kabinet?" tutur dia.
Yohanes mencontohkan kurangnya oposisi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berdampak pada lahirnya kebijakan yang kontroversial.
Saat itu, partai politik yang berada di luar pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai koalisi pemerintah mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial, seperti Undang-Undang Cipta Kerja.
Sementara, partai oposisi tidak punya cukup kekuatan untuk menentang atau melawannya.
Yohanes memprediksi, hanya PKS dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang akan menjadi oposisi pada pemerintahan berikutnya.
Menurut dia, situasi itu masih belum ideal karena kedua partai tersebut tidak cukup secara kekuatan di parlemen.
"Idealnya, kubu pemerintah jangan sampai menguasai kursi mayoritas 67 persen, karena jika mencapai persentase tersebut, undang-undang dan aturan bermasalah bisa mudah digolkan tanpa mempedulikan suara oposisi," kata Yohanes.
Yohanes menegaskan, tanpa oposisi, tidak akan ada checks and balances dalam tata kelola pemerintahan.
"Pemerintah akan menjadi korup, otoriter, dan sewenang-wenang. Demokrasi akan cuma jadi formalitas ala Orde Baru," ujar Yohanes.
***
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
HASIL CEK FAKTA
KESIMPULAN
Rujukan
Publish date : 2024-05-24