Berita
Calon presiden (capres) no urut 03 Ganjar Pranowo menyebut buruh menuntut revisi Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker). Hal tersebut disampaikan dalam visi-misi debat kelima Pilpres 2024 di JCC Senayan, Minggu (4/2/2024) malam.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta, pernyataan Ganjar tersebut adalan benar. Serikat Pekerja telah mengajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan sejak kali pertama disahkan pada 2020 lalu, UU Cipta Kerja ditolak oleh berbagai serikat pekerja, akademisi, pegiat hak asasi manusia (HAM), hingga mahasiswa.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta, pernyataan Ganjar tersebut adalan benar. Serikat Pekerja telah mengajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan sejak kali pertama disahkan pada 2020 lalu, UU Cipta Kerja ditolak oleh berbagai serikat pekerja, akademisi, pegiat hak asasi manusia (HAM), hingga mahasiswa.
HASIL CEK FAKTA
Senior Research Associate Centre for Innovation Policy and Governance, Klara Esti, juga membenarkan pernyataan tersebut.
Sebagian besar pekerja/buruh menuntut revisi UU Cipta Kerja. Hal ini dikarenakan sebagian besar isi kluster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja merugikan pekerja.
“Terdapat beragam pengurangan hak-hak ketenagakerjaan yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Misal: penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menyebabkan pekerja sulit untuk menjadi pekerja tetap,” tulisnya kepada Tim Cek Fakta.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Haili Hasan menegaskan secara umum, tenaga kerja atau buruh menuntut agar UU Ciptaker dicabut atau direvisi.
Secara substantif, masyarakat sipil menilai UU Ciptaker memang semakin memperburuk situasi buruh. Ada beberapa alasan.
Pertama, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja. konsep ini semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) yang bertambah masa toleransi dari 3 tahun menjadi 5 tahun.
UU Cipta kerja juga mendorong praktik outsourcing. Kedua, UU Cipta kerja melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja, yakni pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh dan di lain sisi perusahaan dapat mengurangi hak istirahat buruh, hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketiga, UU Cipta Kerja melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh Pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah.
Sebagian besar pekerja/buruh menuntut revisi UU Cipta Kerja. Hal ini dikarenakan sebagian besar isi kluster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja merugikan pekerja.
“Terdapat beragam pengurangan hak-hak ketenagakerjaan yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Misal: penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menyebabkan pekerja sulit untuk menjadi pekerja tetap,” tulisnya kepada Tim Cek Fakta.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Haili Hasan menegaskan secara umum, tenaga kerja atau buruh menuntut agar UU Ciptaker dicabut atau direvisi.
Secara substantif, masyarakat sipil menilai UU Ciptaker memang semakin memperburuk situasi buruh. Ada beberapa alasan.
Pertama, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja. konsep ini semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) yang bertambah masa toleransi dari 3 tahun menjadi 5 tahun.
UU Cipta kerja juga mendorong praktik outsourcing. Kedua, UU Cipta kerja melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja, yakni pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh dan di lain sisi perusahaan dapat mengurangi hak istirahat buruh, hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketiga, UU Cipta Kerja melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh Pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah.
KESIMPULAN
Rujukan
Publish date : 2024-02-04