Berita
Beredar video pendek di akun media sosial Tiktok [ arsip ] dengan klaim bahwa pengungsi Rohingya adalah imigran gelap yang tidak berhak mendapatkan tanah.
Video itu berisi seorang pria berakting menjadi pengungsi Rohingya yang meminta tanah dan satu pria lagi menjadi aparatur pemerintah. Mereka memasang foto demonstrasi warga sebagai latar belakang video.
Artikel ini akan memverifikasi dua hal yakni:
HASIL CEK FAKTA
Hasil verifikasi terhadap foto demonstrasi yang digunakan sebagai latar video tersebut bukanlah aksi Rohingya menuntut atas tanah. Foto tersebut adalah saat pengungsi Rohingya di Bangladesh berunjuk rasa menuntut pemulangan kembali ke Myanmar.
Foto tersebut adalah karya Tanbir Miraj dari AFP yang pernah dipublikasikan di Aljazeera pada 19 Juni 2022. Aksi tersebut dilakukan sehari sebelum Hari Pengungsi Sedunia pada 2022 yang melibatkan 23 kamp Rohingya, 21 di Ukhiam dan dua di Teknaf Upazila.
Unjuk rasa itu dipicu karena hampir satu juta warga Rohingya ditempatkan di gubuk bambu dan terpal di 34 kamp kumuh di bagian tenggara negara tersebut, tanpa pekerjaan, sanitasi yang buruk, dan sedikit akses terhadap pendidikan.
Namun Upaya repatriasi sebelumnya telah gagal karena warga Rohingya menolak pulang hingga Myanmar memberikan jaminan hak dan keamanan kepada sebagian besar minoritas Muslim. Pada 2018, penyelidik dari misi pencari fakta PBB menyimpulkan bahwa penyelidikan dan penuntutan pidana diperlukan terhadap jenderal-jenderal penting Myanmar atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
Dengan demikian foto itu tidak terkait dengan klaim pengungsi Rohingya berunjuk rasa minta hak atas tanah.
Narasi bahwa pengungsi Rohingya menuntut hak atas tanah berasal dari informasi palsu yang beredar di media sosial. Saat itu beredar video demonstrasi etnis Rohingya berunjuk rasa di Malaysia yang diklaim meminta tanah. Hasil cek fakta Tempo telah menunjukkan bahwa unjuk rasa itu tidak berisi tuntutan meminta tanah, melainkan untuk mengecam kekerasan yang dilakukan militer Myanmar.
Klaim bahwa pengungsi Rohingya sama dengan imigran gelap
Pengungsi tidak sama dengan imigran gelap. Berikut adalah perbedaannya menurut Amnesty Internasional :
Pengungsi: Pengungsi adalah seseorang yang meninggalkan negaranya sendiri karena berisiko mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan penganiayaan di sana. Risiko terhadap keselamatan dan kehidupan mereka begitu besar sehingga mereka merasa tidak mempunyai pilihan selain meninggalkan dan mencari keselamatan di luar negara mereka karena pemerintah mereka sendiri tidak dapat atau tidak akan melindungi mereka dari bahaya tersebut. Pengungsi mempunyai hak atas perlindungan internasional.
Imigran:Tidak ada definisi hukum yang diterima secara internasional mengenai migran. Seperti kebanyakan lembaga dan organisasi, kami di Amnesty International memahami migran adalah orang-orang yang tinggal di luar negara asal mereka, dan bukan pencari suaka atau pengungsi. Beberapa migran meninggalkan negaranya karena ingin bekerja, belajar atau bergabung dengan keluarga, misalnya. Yang lain merasa mereka harus pergi karena kemiskinan, kerusuhan politik, kekerasan geng, bencana alam atau keadaan serius lainnya yang terjadi di sana.
Banyak orang yang tidak memenuhi definisi hukum sebagai pengungsi namun tetap saja bisa berada dalam bahaya jika mereka pulang ke rumah.
Etnis Rohingya bukanlah imigran gelap, melainkan pengungsi yang terpaksa meninggalkan negaranya setelah militer Myanmar melancarkan tindakan kekerasan yang mengusir ratusan ribu warga Rohingya dari rumah mereka di negara bagian Rakhine utara pada 2017. Menurut organisasi kemanusiaan The New Humanitarian, sekitar 900.000 warga Rohingya tinggal di seberang perbatasan di Bangladesh selatan, di kamp-kamp pengungsi yang sempit dimana kebutuhan dasar seringkali melebihi sumber daya yang tersedia.
Eksodus tahun 2017 adalah puncak dari kebijakan restriktif dan penganiayaan selama beberapa dekade di Myanmar. Hak-hak warga Rohingya dirampas dari generasi ke generasi, tidak diberikan identitasnya, dan diusir dari rumah mereka.
Selain di Bangladesh, etnis Rohingya juga mengungsi di India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Senior Communications Assistant United Nations High Commissioner of Refugees (UNHCR), Yanuar Farhanditya, mengatakan pengungsi yang menjadi korban penyelundupan atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tetaplah berstatus pengungsi dan tetap diberikan bantuan dan perlindungan.
Jika pengungsi Rohingya melakukan tindakan kriminal, maka pengungsi wajib melalui proses hukum sebagaimana Warga Indonesia. “Perlu diingat bahwa pengungsi sama sekali tidak kebal hukum dan tunduk kepada hukum yang berlaku di negara tempat ia berada,” katanya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pengungsi Rohingya adalah imigran gelap adalahkeliru.
Hasil verifikasi UNHCR, etnis Rohingya yang datang ke Aceh adalah korban TPPO. Statusnya saat ini adalah pengungsi.
Rujukan
https://www.tiktok.com/@ibxygy/video/7309421757184724229?q=%23Rohingya&t=1705386450142
https://www.tiktok.com/@ibxygy/video/7309421757184724229?q=%23Rohingya&t=1705386450142
https://www.aljazeera.com/news/2022/6/19/rohingya-refugees-in-bangladesh-rally-to-go-home
https://www.amnesty.org/en/what-we-do/refugees-asylum-seekers-and-migrants/
Publish date : 2024-02-01