Berita
Cawapres nomor urut 1 Pilpres 2024 Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dalam sambutannya di debat cawapres di Jakarta Convention Center (JCC) pada Minggu (21/1/2024), mengatakan alokasi anggaran krisis iklim di Indonesia jauh di bawah alokasi anggaran pada sektor lain.
“Krisis iklim harus dimulai dengan etika. Sekali lagi etika. Etika lingkungan ini intinya adalah keseimbangan antara manusia dan alam. Tidak menang-menangan. Seimbang manusia dan alam. Akan tetapi kita menyaksikan bahwa kita tidak seimbang dalam melaksanakan pembangunan kita,” kata dia.
Cak Imin menuding pemerintah tak serius menangani krisis iklim. “Bahkan kita ditunjukkan bahwa anggaran mengatasi krisis iklim jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya,” ucap Cak Imin.
“Krisis iklim harus dimulai dengan etika. Sekali lagi etika. Etika lingkungan ini intinya adalah keseimbangan antara manusia dan alam. Tidak menang-menangan. Seimbang manusia dan alam. Akan tetapi kita menyaksikan bahwa kita tidak seimbang dalam melaksanakan pembangunan kita,” kata dia.
Cak Imin menuding pemerintah tak serius menangani krisis iklim. “Bahkan kita ditunjukkan bahwa anggaran mengatasi krisis iklim jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya,” ucap Cak Imin.
HASIL CEK FAKTA
Berdasaran penelusuran Tim Cek Fakta, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Dian Lestari menjelaskan sejak 2018-2020, anggaran perubahan iklim secara rata-rata mencapai Rp102,65 triliun atau 4,3% per tahun.
Pembagian dari total alokasi, 74% anggaran untuk mitigasi dan 26% untuk adaptasi. Berikut alokasi anggaran untuk penanganan krisis iklim 2016-2020:
2021: Rp112,74 triliun
2020: Rp72,4 triliun
2019: Rp83,54 triliun
2018: Rp126 triliun
2017: Rp98,6 triliun
Secara umum, anggaran iklim masih kurang dari 10% dari APBN.
Sementara menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor, Afni Regita Cahyani Muis, klaim Cak Imin tersebut sebagian benar. Menurutnya, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim masih sebatas proyeksi dan belum maksimal.
Selama 5 tahun terakhir rata-rata 9 (dari 2022) belanja iklim hanya 3.9% dari alokasi APBN pertahun.
Data ini menujukkan bahwa Indonesia belum dapat terbilang serius melakukan aksi penanggulangan perubahan iklim dari anggaran negara. Padahal isu lingkungan hidup tengah menjadi isu krusial di Indonesia.
Senada, Lead, Knowledge Generation Koalisi Sistem Pangan Lestari, Udiana Puspa Dewi menyebut dalam merumuskan kebijakan penanganan krisis iklim, seperti banjir rob, pemerintah sering hanya mempertimbangkan masukan dari NGO lokal, pemerintah daerah, dan investor luar tanpa mendengarkan narasi para penduduk yang langsung terdampak.
Narasi resmi pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim masih berkutat pada diskursivictim blamingatau narasi yang menyalahkan korban terdampak perubahan iklim.
Contohnya narasi membuang sampah sembarangan dan rendahnya kesadaran masyarakat sebagai sebab banjir rob, instead of finding solution dan merumuskan kebijakan dalam mitigasi perubahan iklim
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Masitoh Nur Rohmah, juga menyebut bagi Indonesia, menurut perhitungan Kementerian Keuangan, kebutuhan pendanaan perubahan iklim mencapai Rp3.779 triliun jika mengikuti peta jalan Dokumen Kontribusi Nasional (NDC).
Artinya, setiap tahun anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp200 triliun-Rp300 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 7-11 persen anggaran belanja negara 2022.
Senior Analyst Climetoworks Centre Fikri Muhammad, menyebut berdasarkan NDC Indonesia terbaru tahun 2022, Indonesia membutuhkan dana sekitar USD 285 miliar (~IDR 4,450 triliun) antara tahun 2018-2030 untuk memenuhi target mitigasi iklim saja di NDC di 2030.
Sedangkan berdasarkan Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020, anggaran yang dikeluarkan tahun 2017 dan 2018 adalah sekitar USD 10.49 miliar (Rp ~146.8 triliun) dan USD 14.02 miliar (Rp196.3 triliun).
Dua angka ini menunjukan bahwa Indonesia masih membutuhkan dana yang banyak untuk memenuhi target iklim, baik mitigasi dan adaptasi.
“Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa angka kebutuhan ini sangat besar, sehingga pemerintah sendiri tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada anggaran negara. Dengan demikian, perlu dana dari eksternal, baik swasta maupun internasional, untuk memenuhi target ini,” bebernya.
Pembagian dari total alokasi, 74% anggaran untuk mitigasi dan 26% untuk adaptasi. Berikut alokasi anggaran untuk penanganan krisis iklim 2016-2020:
2021: Rp112,74 triliun
2020: Rp72,4 triliun
2019: Rp83,54 triliun
2018: Rp126 triliun
2017: Rp98,6 triliun
Secara umum, anggaran iklim masih kurang dari 10% dari APBN.
Sementara menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor, Afni Regita Cahyani Muis, klaim Cak Imin tersebut sebagian benar. Menurutnya, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim masih sebatas proyeksi dan belum maksimal.
Selama 5 tahun terakhir rata-rata 9 (dari 2022) belanja iklim hanya 3.9% dari alokasi APBN pertahun.
Data ini menujukkan bahwa Indonesia belum dapat terbilang serius melakukan aksi penanggulangan perubahan iklim dari anggaran negara. Padahal isu lingkungan hidup tengah menjadi isu krusial di Indonesia.
Senada, Lead, Knowledge Generation Koalisi Sistem Pangan Lestari, Udiana Puspa Dewi menyebut dalam merumuskan kebijakan penanganan krisis iklim, seperti banjir rob, pemerintah sering hanya mempertimbangkan masukan dari NGO lokal, pemerintah daerah, dan investor luar tanpa mendengarkan narasi para penduduk yang langsung terdampak.
Narasi resmi pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim masih berkutat pada diskursivictim blamingatau narasi yang menyalahkan korban terdampak perubahan iklim.
Contohnya narasi membuang sampah sembarangan dan rendahnya kesadaran masyarakat sebagai sebab banjir rob, instead of finding solution dan merumuskan kebijakan dalam mitigasi perubahan iklim
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Masitoh Nur Rohmah, juga menyebut bagi Indonesia, menurut perhitungan Kementerian Keuangan, kebutuhan pendanaan perubahan iklim mencapai Rp3.779 triliun jika mengikuti peta jalan Dokumen Kontribusi Nasional (NDC).
Artinya, setiap tahun anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp200 triliun-Rp300 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 7-11 persen anggaran belanja negara 2022.
Senior Analyst Climetoworks Centre Fikri Muhammad, menyebut berdasarkan NDC Indonesia terbaru tahun 2022, Indonesia membutuhkan dana sekitar USD 285 miliar (~IDR 4,450 triliun) antara tahun 2018-2030 untuk memenuhi target mitigasi iklim saja di NDC di 2030.
Sedangkan berdasarkan Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020, anggaran yang dikeluarkan tahun 2017 dan 2018 adalah sekitar USD 10.49 miliar (Rp ~146.8 triliun) dan USD 14.02 miliar (Rp196.3 triliun).
Dua angka ini menunjukan bahwa Indonesia masih membutuhkan dana yang banyak untuk memenuhi target iklim, baik mitigasi dan adaptasi.
“Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa angka kebutuhan ini sangat besar, sehingga pemerintah sendiri tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada anggaran negara. Dengan demikian, perlu dana dari eksternal, baik swasta maupun internasional, untuk memenuhi target ini,” bebernya.
KESIMPULAN
Menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor, Afni Regita Cahyani Muis, klaim Cak Imin tersebut sebagian benar. Menurutnya, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim masih sebatas proyeksi dan belum maksimal.
Rujukan
Publish date : 2024-01-21